Cerita Horor Lelaki Misterius

Bookmark and Share

Lelaki Misterius


Lelaki MisteriusLelaki Misterius - Kucoba.com - Aku memiliki kakak perempuan yang berprofesi sebagai Bidan. Beberapa tahun yang lalu, kakak perempuanku yang bernama Meika itu dipindah tugaskan ke daerah pedalaman yang sangat sulit dijangkau oleh apapun. Lokasinya sangat jauh dari pusat kota. Hampir 5 jam jika menempuh perjalanan darat, dengan medan yang sangat sulit. Melewati rawa dan daerah yang tanahnya pasir, sehingga daerah tersebut hanya dapat dilewati dengan motor itupun harus mendorong di sebagian jalan. Bukan hanya itu, daerah tersebut bahkan belum terjamah dengan aliran listrik. Belum lagi jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain, paling dekat setengah kilometer. Sementara sekelilingnya adalah rawa dan hutan.

Awalnya Mbak Meika berat menerima tugas dari pemerintah tersebut. Tapi setelah meninjau lokasi, yang ada dia malah terenyuh dengan kondisi masyarakat di sana yang memang jauh sekali dari jangkauan tenaga medis. Jika ada warga yang sakit atau akan bersalin, satu-satunya pertolongan hanya dari dukun kampong yang masih sangat tradisional. Wajar saja jika kemudian tingkat kematian ibu dan bayi di lingkungan itu sangat tinggi dibanding daerah lain.

Akhirnya, masa percobaan selama satu bulan yang menjadi inisiatif pemerintah setempat, disanggupi oleh Mbak Meika. Ia akhirnya menempati sebuah rumah dinas yang sangat sederhana. Terbuat dari triplek. Hanya terdiri dari 1 ruang periksa, ruang tamu ukuran 1 x 2 meter, 1 kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur yang berukuran sama dengan ruang tamu. Berhubung Mbak Meika belum menikah, iapun tinggal sendiri di rumah itu. Namun, Ayah dan Ibu yang mengkhawatirkannya akhirnya memutuskan Ibu yang tinggal di sana untuk menemaninya.

Hari-hari pertama tugas di lingkungan itu memang amat berat. Terlebih jika malam tiba. Hanya sebuah lampu dinding yang menemani kegelapan malam. Sunyi, sepi, senyap, hanya ada suara binatang-binatang malam dan berisik pepohonan yang goyang diterpa angin. Sesekali terdengar gemericik air dari rawa seberang rumah. Yang jika air laut pasang, air akan menggenang hingga menutupi pekarangan. Wajarlah jika rumah di daerah ini dibangun setinggi satu meter dari permukaan tanah. Di hari-hari pertama ini, saya ikut menemani Mbak Meika dan Ibu. Kebetulan, jadwal sekolah sedang liburan.

Semenjak menginjak rumah itu, Ibu memang sudah berinisiatif untuk menggelar do’a bersama dan berkenalan dengan warga sekitar. Berharap kedepannya tidak ada hal negative yang terjadi kepada kami. Hanya acara sederhana, makan-makan seandanya dan berdoa bersama. Penduduk daerah itu memang mayoritas muslim. Namun tidak terlalu taat. Wajar saja jika tidak ada satupun rumah ibadah yang berdiri di daerah ini.

Malam pertama semenjak do’a bersama, rasanya memang belum bisa sepenuhnya memejamkan mata. Suara-suara yang mengganggu terus saja bersahutan sepanjang malam. Aku fikir hanya aku saja yang mengalaminya. Namun ternyata Ibu dan Mbak Meika juga mengalami hal yang serupa. Ibu lantas mengingatkan kami untuk banyak berdo’a. Sekalipun ada makhluk lain yang terlebih dahulu tinggal di rumah itu, semoga tidak mengganggu. Sebab kami juga sama sekali tidak bermaksud mengganggu.

Seminggu pertama terlewati. Warga mulai berdatangan silih berganti dengan beragam keluhan. Mbak Meikapun mulai menikmati hari-harinya. Ada kebanggaan tersendiri ketika bisa membantu mereka yang terpinggirkan disana. Namun sore itu, memasuki minggu ke dua, Mbak Meika mulai menunjukkan gelagat yang aneh. Ia jadi sering melamun. Dan terkadang senyum-senyum sendiri di beranda rumah. Padahal seminggu sebelumnya, ia tidak pernah tertarik duduk sendiri di beranda. Selain karena memang tidak ada yang menarik yang bisa dilihat selain hutan mangrove, Mbak Meika juga lebih suka bercanda dengan aku dan Ibu daripada bengong sendiri.

“Mbak, tegurku. Ngapain senyum-senyum sendiri?”

“Siapa yang senyum-senyum? Nggak liat tadi Bang Arel barusan pamit pulang?”

Aku mendadak bengong. “Siapa tuh Bang Arel? Rasanya dari tadi Mbak sendirian deh di sini. Nggak ada ngomong sama siapa-siapa. Nggak ada siapa-siapa juga.”

“Kamu aja yang nggak ngeliat. Itu lho, Bang Arel yang rumahnya gede banget. Waktu do’a bersama di sini dia dateng kok.” Mbak Meika masih menjawabnya dengan senyum yang merekah.

“Katanya dia suka sama Mbak. Mbak mau diminta main ke rumahnya, ketemu sama orangtuanya. Ntar malam dia mau jemput.”

Aku mendadak lunglai. Tidak ada sebilah bangunanpun yang berdiri di daerah di mana telunjuk Mbak Meika mengarah padanya. Hanya ada sebuah pohon beringin yang sangat besar dan rindang.
“Mbak suka sama Bang Arel?”

Mbak Meika mengangguk pasti. “Sepertinya dia baik, sopan, dan pemalu.”

“Nanti malam, kamu sama Ibu ikut ya, ke rumah Bang Arel…”

“Tapi nggak ada rumah di situ, Mbak. Adanya pohon beringin besar banget!”

Mbak Meika tertawa terbahak-bahak. “Musti cuci mata tuh kamu. Rumah gede begitu kok dibilang pohon! Ngaco deh.”

“Baca ayat Kursi dan 3 Qul deh Mbak. Cepetan!” pintaku.

Bersama kami membacanya. Kuminta Mbak Meika menutup mata dan berdzikir. Ketika ia membuka matanya, dan menatap sekeliling, rupanya rumah Bang Arel menghilang. Pandangannya telah sama denganku.

Kami berpandangan tanpa kata. Lalu bergegas, merapikan semua barang. Bergerak pulang. Benteng kami belum kuat untuk bisa tinggal di lingkungan seperti itu dan kami takut terjebak.

“Bu Bidan kenapa pulang? Tidak betah ya di sana?” Bapak Lurah dimana Mbak Meika di tugaskan, menelusuri kembali keputusan Mbak Meika untuk tidak melanjutkan tugasnya di daerah tersebut.

“Maaf, Pak. Saya ini terlalu lemah untuk urusan yang tidak kasat mata. Saya mudah sekali diganggu, Pak!” katanya yang aku dan ibuku amini juga.

“Memang sebenarnya hal itulah yang menjadi kendala setiap kali kami akan menugaskan tenaga medis di sana. Kekuatan di sana terlalu kuat. Padahal maksud kita baik untuk warga di sana.

Namun, pendatang seperti kita memang selalu bisa menarik perhatian mereka. Yang betah tinggal di sana hanya warga asli yang turun temurun tinggal di sana. Sebab mereka tidak bisa keluar dari daerah nenek moyang mereka. Mereka sudah familiar dengan hal-hal semacam itu. Karenanya mereka bisa hidup berdampingan dan damai. Lain dengan kita. Saya saja kalau kunjungan ke sana,
selalu ada saja kendalanya. Sekalipun saya sudah memimpin daerah ini dari 10 tahun yang lalu.”
“Lalu, kenapa Bapak menugaskan Mbak Meika?”

“Sebab, Bapak fikir, Mbak Meika sebenarnya punya pelindung sendiri. Saya bisa melihat dari gerak-gerik Mbak Meika. Ada yang melindungi. Jadi mereka yang berniat jahat tidak berani mengganggu Mbak Meika. Hanya mereka yang berniat baik yang bisa menembus untuk berinteraksi dengan Mbak Meika. Hanya saja, seperti yang pernah terjadi juga. Arel itu ingin mempersunting Mbak untuk menjadi pendampingnya.”

“Memangnya sudah ada yang begitu juga, Pak?” Pak Lurah mengangguk.

Setahun yang lalu, sebelum Mbak Meika ditugaskan, ternyata ada pula seorang perawat yang ditugaskan di tempat yang sama dengan Mbak Meika. Ia tinggal di rumah itu bersama dengan asistennya. Sesama perempuan juga. Syukurnya asistennya itu memang memiliki kemampuan untuk menetralisir hal-hal ghaib. Tapi tetap saja, ia kecolongan. Ibu kara selalu dikunjungi oleh Arel di setiap malamnya. Anehnya memang Arel hanya muncul di malam hari. Sesekali memang ia bisa muncul di siang hari. Namun, hanya sekelebat lewat saja. Tidak lama.

Mbak Tari, asisten Ibu Kara, mengetahui hal tersebut dan berusaha menetralisirnya. Namun rupanya Arel sudah kepalang tertarik dengan Ibu Kara yang memang berparas menarik. Tak jauh beda dengan Mbak Meika. Arel yang juga berparas menawan, juga berhasil menarik hati Ibu Kara.

Ia mencari celah untuk bisa mendekati Ibu Kara tanpa sepengetahuan Mbak Tari. Nyatanya Arel mendatangi Ibu Kara dengan mimpi. Bahkan Ibu Kara sempat tidak sadarkan diri sebab “diajak” oleh Arel ke kediamannya. Ia bahkan sudah diminta oleh Arel untuk menjadi pendampingnya.
Beruntung Mbak Tari segera menemukan tokoh masyarakat di sana yang bisa membantu mengembalikan Ibu Kara. Terlambat lima menit saja, mungkin nyawa Ibu Kara bisa lewat.

Tidak hanya itu, gangguan juga banyak sekali datang dari hutan mangrove di rawa-rawa depan rumah dinas. Sekejap saja melamun ke arah tersebut, seseorang bahkan bisa langsung terbawa masuk ke dalam hutan dan tidak bisa kembali lagi. Dulu juga pernah ada tenaga medis yang tinggal di sana, membantu “pengobatan” di tengah hutan bambu. Dan setelah ditelusuri, tak ada satupun rumah yang terbangun di sana. Tentu saja hal ini menimbulkan tanda Tanya.

“Bahkan ada yang nyata-nyata di makan buaya.” Tutup Pak Lurah dengan nada menyesal.
“Ada buaya jadi-jadian di kolong rumah tugas itu, Mbak.”

Aku merinding. Sungguh. Aku selalu penasaran dengan suara gemericik riak air di kolong rumah. Bahkan beberapa kali hendak mencari tau asal suara itu. Aku fikir, kalau suara itu berasal dari ikan, besar kemungkinan akan kupancing untuk santapan.

“Biasanya, pada hari ketiga dia sudah menampakkan wujudnya. Syukurlah jika ternyata tak sempat terlihat.”

Terima kasih Tuhan, Kau masih melindungi kami.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar